"Kerja di mana mas?", seorang pria pegawai bank bertanya padaku.
"Eh, belum. Belum bekerja".
"Belum bekerja? Masih sekolah?"
"Ya".
"Di mana?"
...
Sekolah???
Aku ini sudah lama lulus! Dan pekerjaanku sudah kutinggalkan untuk alasan penghilangan rasa sakit. Pertanyaan aneh muncul begitu saja darinya soal pekerjaan seorang pendatang baru ganteng sepertiku yang kupikir tidak pernah ditanyakan kepada orang lain yang sedang membuat kartu kredit. Atau mungkin Aku saja yang tidak pernah mengetahui bahwa orang lain mungkin juga pernah mengalami pertanyaan yang sama sepertiku. Ya, jelas saja karena saat itu Aku tidak mengisi formulir pada bagian pekerjaan. Haha...Dasar. Sepertinya memang tidak bisa. Tapi jika Aku tidak pernah melakukan ini maka selamanya Aku tidak akan pernah bisa melakukan ini. Singkatnya, sebagian orang akan membuat kartu kredit saat mereka sudah bekerja dengan gaji yang setidaknya cukup untuk mengisi dan membayar pajak bank. Tapi Aku? Pekerjaan hilang, sekolahpun tidak.
Aku mulai panik.
Seseorang memberikan tawaran kecil kepadaku sehari yang lalu dan dia harap Aku bisa memenuhi permintaannya. Pembayaran hasil kerja dilakukan melalui kartu kredit. Titik.
Saat itu Aku cuma berpikir: Jika Aku membuat kartu kredit, maka Aku akan memiliki kewajiban baru, yaitu menabung uang minimal 100.000 rupiah dan membayar biaya perawatan sekitar 5000 rupiah tiap bulan. Jika Aku membuat kartu kredit saat tidak ada yang meminta -alias membuat kartu kredit tanpa tahu akan dipakai buat apa- maka bisa dipastikan Aku akan bangkrut sebelum tahu apa yang harus kulakukan dengan kartu kredit yang Aku buat.
Tapi kali ini kasusnya berbeda. Dia memberiku penawaran singkat dan saat itu Aku tidak memiliki kartu kredit. Kupikir, jika Aku menerima penawarannya dan kemudian (tanpa dia ketahui) membuat kartu kredit, maka setidaknya Aku bisa mendapatkan uang kecil dan menyimpannya di dalam kartu plastik tersebut sebagai uang cadangan perawatan. Kalaupun setelah penawaran ini tidak ada lagi pekerjaan lain, maka setidaknya uang yang tersimpan di dalam plastik tersebut bisa membuatnya bertahan hidup sebagai modal perawatan selama kurang lebih setahun. Itu adalah keadaan terparah yang kupikirkan saat itu yang kurasa bisa diatasi. Atau dengan kata lain: Kenapa tidak? Buat saja kartu kredit dan setidaknya kalaupun tidak berkelanjutan maka akun tabunganku masih bisa bertahan selama setahun. Dan lagipula tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi dalam kurun waktu satu tahun ke depan.
Terlaksana dengan segala keterbatasan!
Kartu kredit kudapat dan uang terakhirku yang hanya tinggal 100.000 rupiah akhirnya menghilang. Ini bukan kebohongan. Ini nyata dan sangat serius! Selama ini Aku menyimpan semua sisa uang hasil pekerjaanku setahun yang lalu. Cukup awet, karena bisa dibilang Aku ini bukan tipe orang yang suka menggunakan uang. Sampai ibuku memakainya lagi dan lagi untuk membiayai kebutuhan keluarga. Hmmmmhhhhh...Terakhir kali sebelum kuputuskan untuk membuat kartu kredit memang tersisa 100.000 dan beberapa recehan saja!
Aku harus melakukan ini. Ya, Aku harus. Seseorang di belakangku yang juga telah memotivasiku untuk melakukan ini. Kakakku. Seseorang yang Aku benci karena perkataannya yang seringkali terasa pedas terhadap ibuku. Itu adalah sisi buruknya yang sangat Aku benci. Kabar baiknya, di sisi lain Aku sudah lama tahu dan mengerti secara pasti satu kesimpulan mengenai pertengkaran dalam keluarga bahwa ketika seorang anak sering bertengkar dengan ibunya maka bisa dibilang anak tersebut adalah cerminan dari ibunya (ini berlaku juga untuk ayah). Mereka sering bertengkar karena mereka sama. Begitulah. Kupikir kakakku mirip dengan ibuku di beberapa sisi. Hanya bedanya Aku tidak pernah tahu masa lalu ibuku karena secara teknis maupun mistis Aku memang tidak dilahirkan sebelum ibuku menikah.
Aku sudah pernah bercerita bahwa Aku telah keluar dari pekerjaanku. Mereka terlalu sulit untuk kupercaya, sementara Aku adalah tipe orang yang terlalu banyak berharap. Pusat Layanan Internet Kecamatan. Omong kosong. Segala hal yang berhubungan dengan pemerintah itu sulit dikontrol! Aku tidak bilang bahwa mereka itu pemalas, tapi segala hal mengenai mereka tetap saja sulit dikendalikan karena mereka tidak bisa mengawasi semua bawahannya dengan ketat. Cakupannya terlalu luas kupikir. Jadi saat itu Aku menghentikan harapanku. Belum lagi cara kerja teman-teman kerjaku yang memiliki selisih usia puluhan tahun dariku. Kebiasaan malas mereka yang lebih tua, sementara Aku yang masih terombang-ambing dengan janji-janji orang yang bahkan Aku tidak tahu ada di mana. Aku tidak pernah mengenal atasanku. Sebenarnya Aku ini bekerja untuk siapa?
Kantor ini sudah mati. Harusnya Aku sudah menyadari sejak pertama kuputuskan untuk memasukinya, tapi saat itu situasinya berbeda. Selalu berbeda.
Kita semua berjalan dalam hidup tanpa tahu apa yang menyebabkan kita mengarah pada sesuatu itu. Beberapa orang hebat bisa melakukan semua rencana hidup mereka sesuai dengan keinginan, tapi kita seolah-olah seperti manusia yang masih dikendalikan Tuhan untuk menuju sebuah tempat. Entah apa. Sikap tidak menurut saja sepertinya tidak cukup untuk menghindari semua itu. Mungkin kita harus mati dulu untuk mengakhiri jalur aneh ini.
Kita semua berjalan dalam hidup tanpa tahu apa yang menyebabkan kita mengarah pada sesuatu itu. Beberapa orang hebat bisa melakukan semua rencana hidup mereka sesuai dengan keinginan, tapi kita seolah-olah seperti manusia yang masih dikendalikan Tuhan untuk menuju sebuah tempat. Entah apa. Sikap tidak menurut saja sepertinya tidak cukup untuk menghindari semua itu. Mungkin kita harus mati dulu untuk mengakhiri jalur aneh ini.
Saat itu kami berdua pulang. Pulang setelah menemani kakakku pergi ke sebuah Toserba untuk numpang makan. Dasar wanita. Makan saja harus di Toserba? Bagaimana jika Aku punya pacar nanti???
Sampai di rumah
Suasana panas. Tidak seperti dalam cerita dongeng. Ini adalah kisah nyata yang bahkan suasanapun tidak bisa kurekayasa. Saat itu suasanannya sedang panas-panasnya. Sepi.Aku terduduk di atas tempat tidur dalam sisi yang agak gelap. Kulihat dengan samar. Mataku remang-remang setelah terkena cahaya matahari, sedangkan saat ini Aku berada di tempat gelap untuk mengurangi hawa panas. Rasanya seperti menjadi Si Buta dari Goa Hantu.
Nominal 100.000 tertera di sini. Hahahhh... uang sebesar seratus ribu yang sudah kuperjuangkan dengan susah payah agar tetap bertahan menetap di dalam dompet kini berakhir terbang menuju sebuah buku kecil aneh, menjelma menjadi citra printer dot matrix yang bisa dengan mudah terhapus air.
Aku benar-benar sudah gila. Pilihan antara hidup dan mati.
Mati saja lah...
0 Comment:
Posting Komentar